Eleanor Roosevelt

Yesterday is history. Tomorrow is mystery and today is a gift, that is why it is called the present

Sabtu, 12 Januari 2013

Biografi Dewi Sartika oleh Andriyani P




 BIOGRAFI RADEN DEWI SARTIKA
 




Dewi Sartika adalah putri pasangan Patih Bandng, R. Rangga Somanegara dan R.A. Raja Permas, putri Bupati Bandung R.A.A Wiranata kusuma IV, yang terkenal dengan sebutan Dalem Bintang. Dewi Sartika lahir pada tanggal 04 desember 1884 di Cicalengka. Cita-cita putri bangsawan ini adalah mendirikan sekolah istri, ia sudah mengidam-idamkan sekolah tersebut sejak kecil.
Dewi Sartika adalah symbol kebangkitan kesadaran perempuan atas harga dirinya. Ia berjuang agar kaumnya sejajar dengan lawan jenisnya. Dengan segala keterbatasan dan pagar-pagar bersepuh emas yang bernama etika, mereka mencoba untuk mengembangkan diri dan keyakinan.
Semasa kecil, Dewi Sartika diperkenankan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk masuk sekolah pada kelas satu (Eerste Klasse School). Suatu saat terjadi kejadian penting pada keluarganya, sehingga dia terpaksa mengakhiri sekolah sampai kelas 2 B. Di sekolah itu, dia memperoleh pendidikan dasar yaitu membaca, menulis dan Bahasa Belanda. Selain itu, dia juga mempunyai banyak teman dari bangsa sendiri maupun dari bangsa Belanda. Meskipun dia bersekolahnya hanya sebentar, namun semangat untuk belajar masih sangat besar. Dia mencari ilmu dari kehidupan diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, sampai dia berhasil menjadi pimpinan salah satu sekolah. Walaupun tangan kanannya cedera gara-gara jatuh waktu bermain, dia tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Tetapi pada bulan Juli tahun 1893 kedamaian keluarga Dewi Sartika berakhir karena ayahandanya dituduh terlibat dalam peristiwa pemasangan dinamit. Hukuman yang diterima adalah hukuman buangan ke Ternate. Sang ibu juga ikut menyertai ke Ternate sehingga Dewi Sartika dan saudara-saudaranya dititipkan pada sanak keluarga tanpa bekal apapun karena harta bendanya disita semuanya. sedangkan Dewi Sartika oleh bapak tuanya dibawa di tengah-tengah kehidupan keluarganya di Cicalengka. Di Cicalengka, Dewi Sartika tidak diperlakukan semestinya dan dikucilkan. Dia hanya
dianggap sebagai pelayan dan ditempatkan di belakang jauh dari tempat yang lazim dihuni oleh keluarganya / anak didiknya. Walaupun dia merasa kesepian dan sedih, dia tidak pernah menghiraukannya karena dia mempunyai tugas-tugas yang harus diselesaikan setiap hari. Meskipun dia menderita, tapi dia banyak mendapatkan pelajaran tentang memasak, menjahit, menyulam dan kerajinan tangan yang diajarkan oleh istri Patih Arya. Selain itu, Dewi Sartika punya tugas mengantar saudara-saudara sepupunya pergi kerumah nyonya Belanda untuk belajar membaca dan menulis bahasa Belanda. Di situ Dewi Sartika tidak diperkenankan masuk, Cuma mendengar dari balik pintu. Karena kecerdasannya, dia bisa menangkap semua pelajaran itu.
Awal Dewi Sartika merintis kariernya yaitu dia menjadi seorang pemimpin dan guru yang mengajar di sekolah kautamaan istri. Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan R. A Soeriawinata. Setelah menikah ia tidak berhenti bekerja dan suaminya dengan aktif bekerjasama dengan istrinya, sehingga pada tahun 1912 Dewi Sartika berhasil mendirikan sembilan sekolah untuk anak gadis. Saat ia telah berhasil mendirikan sekolahnya yang pertama, kini berusaha untuk mengembangkannya ditingkat yang lebih tinggi. Salah satu hasil karyanya yaitu sebagai pendiri pertama kali sekolah untuk anak-anak gadis dan sekolah istri, sekolah yang pertama untuk jenisnya bagi seluruh Indonesia pada tanggal 16 Januari 1904 di Paseban.
Dewi Sartika wafat pada hari kamis, tanggal 11 September 1947. pukul 09.00 WIB ditengah-tengah keluarga di rumah sakit Cineam. Beliau wafat dalam usia 63 tahun.
ARTIKEL II
DEWI SARTIKA
Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Saat itu tahun 1902, ketika wanita pribumi masih jauh dari mandiri karena kungkungan adat. Dan pendidikan bagi dia adalah jalan keluarnya. Inilah alasan kenapa Dewi Sartika mencetuskan gagasan mendirikan sekolah wanita pribumi yang pertama di Indonesia. Dia mengajarkan cara merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya. Muridnya membawa makanan, beras, garam, buah-buahan, dan sebagainya untuk Dewi Sartika dan ibunya. Kegiatan ini perlahan tecium Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung, C. Den Hammer. Den Hammer menilainya kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Tapi, setelah melihat secara dekat, Den Hammer menilai positif, bahkan terkesan dengan pemikiran dan obsesi Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah wanitapribumi. Dukungan Den Hammer ternyata tak cukup. Masih saja ada yang menghalangi usahanya. Alasannya bertentang dengan adat istiadat. Inilah yang lebih menyedihkan Dewi Sartika. Dalam salah satu artikelnya dia menyayangkan, “… masih banyak di antara orang-orang setanah air saya yang rupanya selalu berusaha untuk lebih dahulu menentang segala yang baru”. Den Hammer ikut prihatin. Dia lalu mengusulkan agar Dewi Sartika meminta bantuan dari Bupati Bandung R.A. Martanegara. Dewi Sartika ragu. Dia belum bisa melupakan pengalaman pahit yang menimpa keluarganya sembilan tahun silam. Ketika itu ayahnya, Raden Rangga Somanegara, harus menjalani hukuman buang ke Ternate hingga meninggal dunia di sana. Pemerintah Hindia Belanda membuangnya karena ayahnya menentang pelantikan R.A. Martanegara sebagai Bupati Bandung. Dewi Sartika sudah membayangkan bahwa dia akan kena marah ibunya dan mungkin akan dimusuhi oleh saudara-saudaranya Tapi setelah berpikir ulang, dia akhirnya menerima usul Den Hammer. Bupati Bandung R. A. Martanegara terkejut mengetahui Dewi Sartika hendak
menghadapnya. Apalagi mendengar gagasan Dewi Sartika yang ingin mendirikan sekolah bagi wanita pribumi. Ada rasa haru, kagum, tapi sang bupati perlu waktu untuk merundingkan ide itu dengan sejumlah sahabat dan kerabat dekatnya. Tak lama kemudian Dewi Sartika dipanggil di pendopo dalem. "Nya atuh Uwi, ari Uwi panting jeung kekeuh haying mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sekuliah alam, urang nyoba-nyoba nyien sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sekolah the hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen," ujarMartanegara. Hilang debaran dan rasa was-was itu. Dewi Sartika senang. Ucapan sang bupati menandakan dukungan dan perlindungan atas rencananya mendirikan sekolah untuk wanita pribumi. Maka, pada 16 Januari 1904, Sakola Istri berhasil dibentuk –istri dalam bahasa Sunda berarti juga wanita. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Untuk sementara tempat belajar meminjam ruangan di Paseban Barat di halaman depan rumah Bupati Bandung. Murid yang diterima untuk kali pertama sebanyak 60 siswi, yang sebagian besar berasal dari masyarakat kebanyakan. Pada 1905 sekolah tersebut pindah ke jalan Ciguriang-Kebun Cau karena ruangan tak mampu lagi menampung jumlah siswi yang bertambah. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya plus bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Dilingkungan keluarganya, Dewi Sartika yang lahir dari keluarga “Menak” di Bandung lebih akrab dipanggil Uwi. Dia putri dari perkawinan Raden Rangga Somanagara dengan Raden Ayu Rajapermas. Lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 ketika ayahnya menjabat Patih Afdeling Mangunreja. Tujuh tahun kemudian ayahnya menjadi Patih Bandung. Dewi Sartika tinggal bersama orang tua dan saudara-saudaranya di sebuah rumah besar yang terletak di Kepatihan Straat. Rumah besar itu semipermanen berhalaman sangat luas
yang terletak di pinggir jalan raya. Di berandanya terdapat pot-pot bunga besar berisi tanaman suflir dan kuping gajah yang tertata rapi. Di halamannya yang cukup luas tumbuhiberbagai tanaman serta bunga, termasuk bunga hanjuang merah yang menjadi ciri khas orang Sunda. Kebutuhannya hari diurus dan dilayani para abdi dalem yang setia dan patuh. Jauh dari kesusahan dan kesengsaraan. Untuk acara cukup penting, ayahnya acap mengajaknya serta saudara-saudaranya. Misalnya menonton acara pacuan kuda di Tegallega, pagelaran hiburan rakyat, dan sebagainya. Dewi Sartika bersekolah di Eerste Klasse School. Dia mendapat kesempatan belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Gerak-geriknya lincah, sigap, dan berani, agak berbeda dari wanita umumnya. Bicaranya pun lugas dengan tutur kata yang tegas dan terkadang bernada keras. Kendati sehari-hari dia mengenakan kebaya dan kain panjang, boleh dibilang pembawaannya agak tomboy. Keinginannya mengajar sudah terlihat sejak kecil. Dia suka mengambil peran sebagai guru saat bermain sekolah-sekolahan bersama teman-teman perempuan sebayanya, sepulang dari sekolah dasar di Cicalengka. Kegiatannya Dewi Sartika sebagai kepala sekolah cukup menyita waktunya. Dia berangkat pagi dan pulang tengah hari. Begitu berlangsung setiap harinya sehingga menimbulkan keibaan bagi ibunya yang tak ingin melihat putrinya bertambah usia dan tak kunjung punya suami. Dewi Sartika pada mulanya pernah dilamar keluarga Pangeran Djajadiningrat dari Banten untuk salah satu putranya. Lamaran itu ditolak dengan alasan belum mengenalnya, meski ibunya berkenan dengan pria itu. Suatu hari, Dewi Sartika membantu menyediakan hidangan di rumah Bupati. Lalu dia bertemu dengan seorang pria gagah yang menggugah hatinya. Pria tersebut bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, salah seorang guru di Erste Klasse School di Karang Pamulang. Pertemuan itu berlanjut menjadi hubungan yang lebih akrab. Pada mulanya sang ibu keberatannya jika Dewi Sartika menikah dengan Raden Agah. Menurutnya, Raden Agah tak setara untuk menjadi suami putrinya, karena Dewi Sartika adalah putri seorang Patih Bandung yang sangat disegani banyak pihak. Dewi Sartika
kecewa dan menganggap ibunya kolot dan tak realistis. Tapi, meski ditentang, dia tetap menjalin hubungan dengan Raden Agah. Akhirnya sang ibu pun menyetujui, dan pada 1906, resmilah Raden Kanduruan Agah Suriawinata menjadi suami Dewi Sartika. Upaya Dewi Sartika terus berlanjut, bahkan mengalami kemajuan. Pada 5 Nopember 1910, persisnya Minggu pukul 19.00 WIB, Perkumpulan Kautamaan Istri dibentuk Residen Periangan W.F.L. Boissevain di kediamannya. Hadir dalam peresmian itu antara lain Inspektur Pengajaran J.C.J. Van Bemmel, Bupati Bandung R.A.A. Martanegara dan dua orang Raden Ayu, Dewi Sartika dan Raden Agah, serta sejumlah pejabat Belanda dan para istrinya. Tujuan Perkumpulan Keutaman Istri untuk mendukung pengembangan dan pembangunan sekolah wanita pribumi yang dipimpin Dewi Sartika. Tugas perkumpulan berusaha menghimpun dana dari para dermawan Belanda maupun pribumi. Perkumpulan Keutamaan Istri yang dipimpin oleh istri Residen Periangan dalam waktu singkat telah membuahkan hasil. Dana yang terhimpun bisa untuk mendirikan cabang Sakola Kautamaan Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta dan berbagai kota lainnya di Jawa Barat. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, Sakola Kautamaan Istri menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum Tweede Klasse School. Tapi, bidang studi ketrampilan wanita masih tetap menjadi acuan utama. Perkembangan itulah yang menarik para pejabat pemerintah untuk berkunjung. Bahkan pemerintah juga memberikan bantuan dana untuk membiayai. Hingga akhirnya pada 1929 sekolah ini memiliki gedung sendiri, dan berganti lagi namanya menjadi Sekolah Raden Dewi. Pada 25 Juli 1939 Dewi Sartika harus kehilangan suami tercintanya. Raden Agah meninggal dunia. Meski sedih, Dewi Sartika masih punya tanggung jawab; melanjutkan upaya memajukan sekolah wanita. Seperti biasa pula sebelum waktu belajar dimulai, Dewi Sartika akan berdiri didepan ruangan sekolahnya, membunyikan lonceng kuningan yang nyaring sebagi tanda dimulainya waktu belajar.
Dewi Sartika sendiri meninggal pada 11 September 1947 dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar Bandung.*(budi setiyono/bsumber/buku Sang Perintis – R. Dewi Sartika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar