PANGLIMA
POLEM

Rumah Panglima Polem di Gle Jong, Jaya, Aceh Jaya (tahun 1895-1910) Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud adalah
salah seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal dari Aceh. Sampai saat ini belum ditemukan
keterangan yang jelas mengenai tanggal dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang
jelas ia berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima
Polem VIII Raja Kuala anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud
Arifin yang juga terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar.
Biografi
Diangkat sebagai Panglima setelah dewasa, Teuku Panglima
Polem Muhammad Daud menikah dengan salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim
Bantamuda, tokoh Aceh yang seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai
Panglima Polem IX pada bulan Januari 1891 untuk menggantikan ayahnya
Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat. Setelah pengangkatannya sebagai
Panglima dia kemudian mempunyai nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud.
Dalam perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud juga
memperoleh dukungan dari para ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku
Muhammad Amin dan Teungku Beb, yang kemudian diangkat menjadi panglima besar.
Perjuangan melawan Belanda Bersama Teuku Umar
Sampai
tahun 1896, Belanda masih sulit
mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh. Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya
pada bulan September 1893, pura-pura menyerah kepada
Belanda, setelah terjadi penyerahan, patroli Belanda di daerah Lam Kra' VII,
Mukim Ba'et Aceh Besar. Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela
rakyat Aceh. Sementara itu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang
pasukannya bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam
pertempuran tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak mereka
banyak yang berjatuhan.Korban dalam penyerangan itu sebanyak 25 orang tewas dan
190 orang luka-luka.
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif
untuk menambah pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai
menurun dan Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke daerah
Daya Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar
meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan Seulimeum.
Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan
4 kompi infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang
didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini, jatuh korban 27 orang
tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan Oktober 1897, wilayah Seulimeum
akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak perlawanan, dan Panglima
Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.
Bertemu dengan Sultan Aceh
Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di
Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah). Dia
mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya. Pada bulan
Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh
kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April
1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para ulama serta Uleebalang
terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.
Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara
bersama-sama menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini
sebagai pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem
dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan penyarangan
terhadap Belanda.
Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima
Polem, maka meraka menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian Belanda
menyusun strategi baru yang sangat licik yaitu dengan menangkap
keluarga-keluarga dekat Sultan. Mereka berhasil menangkap isteri Sultan yang
bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri sultan yang bernama
Pocut cot Murong dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap
mereka, Belanda mengancam Sultan; apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam
tempo satu bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.
Berdamai Dengan Belanda
Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah
terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia
Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal
6 Februari 1939. Hal ini menyebabkan Teuku
Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud secara terpaksa juga berdamai
dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar