Nama : Nanda Bunga Sukma Wijaya Putri
Kelas : X-1
No. Absen : 25
Biodata dan Biografi R.A. Kartini
|
NamaTempat
lahir
Tanggal lahir
Wafat di
Tanggal wafat
Usia
Nama Ayah
Nama Ibu
Nama suami
Nama Putra
Tokoh
Gelar
Berdasarkan
|
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
|
Raden
Adjeng KartiniJepara, Jawa Tengah
21 April 1879
Rembang, Jawa Tengah
17 September 1904
25 tahun
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati
Jepara (Keturunan Hamengkubuwana VI)
M.A. Ngasirah
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat,
Bupati Rembang
R.M. Soesalit
Pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964
|
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan
priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat,
bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama.
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah
Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di
Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan
seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya
menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja
Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di
Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini,
Kardinah, Roekmini
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung
dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Masa Sekolah Dan Aktifitas Masa Remaja
Kartini
Kecil
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah
di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa
Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah
bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah
ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi
yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak
mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan
perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status
sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh
Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan
toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche
Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di
De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja
dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini
menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak
hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan
Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua
kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian
karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang
saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman
anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Semuanya berbahasa Belanda.
Masa Menikah Dan Wafat
Kartini dan
Suami
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan
bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah
pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.
Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung
mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit,
lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September
1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang.
Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Kartini
s School
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan
Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di
Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga
Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-Surat RA Kartini
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan
dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada
teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku
kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam
bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah
Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian
tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang
sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk
menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya.
Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam
bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu,
surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan
Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan
pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran
Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi
di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga
menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain
W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis
pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang
kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan
gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan
belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis:
Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid
dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en
Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan
Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk
memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella”
Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat,
yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan
Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan
mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk
dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika
tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah,
dan saling menyakiti. “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa
banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” Kartini mempertanyakan
tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami.
Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya
sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang
kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa
yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah
menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap
saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun
ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan
begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk
belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke
Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya
mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya
Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24
tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam
sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi
karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak
mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” Padahal saat
itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi
Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian
Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan
membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah
bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi
juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia
sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan
transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk
bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip
patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Gelar Pahlawan Dan Peringatan Hari Kartini
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan
Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir
Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar
yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Nama-Nama Jalan Di Belanda
- Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama, berbentuk ‘U’ yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho Neto.
- Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk ‘O’ di kawasan Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.
- Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
- Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar