Nama : Melinda Pangestika
Kelas : X-1
No. : 23
Letnan
Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir
di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman.
Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar.
Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat
SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun
itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya
Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada
Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa
diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di
Indonesia.
Oleh
Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus
Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah
itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia
merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata
pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota
Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk
sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan
tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai
perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat
(TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam
pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya
dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah
menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah Indonesia mendapat pengakuan
kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai
Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari
Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian
ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia
diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan
tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya
tidak terulang lagi.


Pada pemberontakan
yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu
target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari,
Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan
Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara
membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya
tanpa prikemanusiaan.
R. Suprapto gugur
sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam perwira
lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang
sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan
Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa para
pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober
setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur
nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat
jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan
Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Referensi :- http://id.wikipedia.org/wiki/R._Suprapto_(pahlawan_revolusi)
Referensi :- http://id.wikipedia.org/wiki/R._Suprapto_(pahlawan_revolusi)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar