BIOGRAFI
Prof. Dr.
Raden Pandji Soejono
Prof. Dr. Raden Pandji
Soejono dikenal sebagai salah satu pelopor dan arkeolog yang gigih dalam
mengangkat dunia arkeolog Indonesia di mata dunia. Dia meninggal pada 16 Mei
2011 karena sakit. Ditangan pria kelahiran Mojokerto, Jawa Timur, 27 November
1926 inilah, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sebagai pusat penelitian yang
disegani di dunia internasional.
Semasa
hidupnya Prof Dr Raden Pandji Soejono meski sudah berumur tidak
menyurutkan arkeolog senior prasejarah ini berkantor di Lembaga Arkeologi Nasional,
Pejaten, Pasarminggu . Baginya umur hanya mengurangi keleluasaan gerak,
sebaliknya tekad pantang menyerah, tabu untuk surut. Itulah sikap hidup Prof Dr
Raden Pandji Soejono.
Berkat
kegigihannya, arkeologi Indonesia yang pada awalnya berciri amatiran menjadi
satu cabang ilmu pengetahuan dalam kegiatan yang diatur sesuai standar
internasional. Berkat kegigihanya, arkeologi (ilmu tentang purbakala) Indonesia
menjadi nasionalistik dan mandiri, dan menjadikan Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional (Puslit Arkenas) sebagai pusat penelitian yang disegani di dunia
internasional.
Di tahun
1950, empat mahasiswa Universitas Indonesia membuat kesepakatan. Soekmono dan
Satyawati Soelaiman, dua dari empat mahasiswa pertama jurusan sejarah kuno dan
ilmu purbakala, memillih bidang klasik. Boechari memilih bidang epigrafi.
Soejono bidang prasejarah.
"Mereka
sudah almarhum semua, tinggal saya," kata Pak Jono—demikian rekan dan anak
didiknya menyapa akrab—di kantornya, Kamis (11/10). Empat bidang yang dirintis
tahun 1950 itu menonjol dalam pengkajian arkeologi di Indonesia, khususnya
masalah kepurbakalaan yang ditangani ahli-ahli Indonesia. Menyusul kemudian Uka
Tjandrasasmita yang mengambil spesialisasi bidang Islam.
Menurut
Soejono, mantan Kepala Puslit Arkenas (1977-87), saat ini dengan dimasukkannya
Puslit Arkenas dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, arkeologi di
Indonesia "mati suri". Penelitian tidak lagi seramai tahun-tahun
80-an. Arkeologi disempitkan dalam sisi manajemen, sedangkan ilmunya tidak.
Mengembangkan dan memperkenalkan kekayaan alam dan manusia Indonesia memang
perlu, tetapi yang tidak kalah penting adalah isi, ilmu yang menjadi sarana dan
fondasi awal mula suatu masyarakat modern Indonesia.
"Kalau
terus dibiarkan kekayaan ilmu pengetahuan kita diambil orang luar. Kita belajar
dari mereka. Kita tidak lagi pemegang kendali dan sumber, sebaliknya kita
mempelajari tentang diri kita lewat pengetahuan dan bahan dari orang lain.
Belum lagi banyak peninggalan kita dibawa orang," tegas Soejono yang mengucapkannya
sambil bergetar. Bergetar tidak karena pikun, tetapi karena marah-kecewa campur
aduk jadi satu. Betapa tidak di tangan putra mantan anggota >f 9002f
9001< mantan Gubernur Jawa Tengah, mantan menteri, Raden Pandji
Soeroso--berkat ketekunan berteman dengan temuan-temuan benda kuno dan
pendalaman kehidupan masa lampau khususnya prasejarah, Indonesia dikenal dan
disegani dunia internasional dalam cabang arkeologi.
Karena
keprihatinan, campur aduk marah-kecewa dan tekadnya, bersama 17 budayawan lain
di tahun 2000 menyampaikan "Pernyataan (Petisi) kepada Presiden RI".
Mereka ingin posisi kebudayaan termasuk arkeologi tidak dipinggirkan dan nama
Puslit Arkenas dikembalikan seperti semula. Petisi mereka diabaikan. Nnama
Puslit Arkenas diganti menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional. Di
sana tidak hanya arkeolog tetapi juga antropolog, sejarawan, ahli seni, dan
lain-lain yang menyiapkan kebijakan tentang pariwisata, seni, dan budaya.
Arkeologi
kosmetik
Memperoleh gelar doktor dari UI tahun 1977 tentang situs prasejarah Gilimanuk, lebih dari 50 tahun bergelut untuk kemajuan arkeologi, memperoleh gelar profesor tahun 1984, nama Soejono tidak lepas dari posisi terhormat arkeologi Indonesia. Bersama tiga nama "perintis arkeologi", dia meninggalkan jejak langkah.
Memperoleh gelar doktor dari UI tahun 1977 tentang situs prasejarah Gilimanuk, lebih dari 50 tahun bergelut untuk kemajuan arkeologi, memperoleh gelar profesor tahun 1984, nama Soejono tidak lepas dari posisi terhormat arkeologi Indonesia. Bersama tiga nama "perintis arkeologi", dia meninggalkan jejak langkah.
Di antaranya
selain kerja keras dan semangat, juga metode penggalian arkeologi kosmetik,
metode yang dia ikuti secara ketat dari gurunya, Prof van Heekeren sejak tahun
1952. Arkeologi kosmetik atau >f 9002f 9001Metode arkeologi klasik memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya diperoleh data yang akurat, dan
kesimpulan atau tafsir tidak gegabah. Kekurangannya lamban, super
hati-hati—suatu kebiasaan yang barangkali tidak populer di zaman sekarang yang
menuntut serba cepat. Meskipun demikian metode ini relatif diikuti oleh para
arkeolog muda—dengan catatan penelitian lapangan terutama ekskavasi tidak
seramai dulu—bahkan menurut Soejono, saat berulang tahun ke-80, tahun lalu,
kondisinya tidak lagi kondusif menguntungkan terutama sebagai ilmu.
Sebagai
arkeolog bidang prasejarah, Soejono berhasil meyakinkan, arkeologi tidak
sekadar mengungkap peninggalan yang sudah berkalang tanah. Untuk memperoleh
pengetahuan lebih lengkap, bangsa bersangkutan akan memberikan perhatian pada
obyek-obyek kuno yang diperoleh dari dalam tanah.
Sebagai
ilmu, menurut keyakinan Soejono, arkeolog akan terus waspada atas temuan dan
tafsir baru demi pengetahuan dan kelengkapan suatu masyarakat. Penelitian
arkeologis tidak hanya didasarkan atas artefak-artefak yang ditemukan, tetapi
juga lingkungan sekitar dan kebiasaan masyarakat.
Obsesi
Tim gabungan itu mengadakan serangkaian ekskavasi di Liang Bua pada September 2003. Setahun kemudian diumumkan, dan langsung menghebohkan sebab mereka menemukan fosil manusia kecil dari Liang Bua. Fosil itu berjenis kelamin perempuan dan berusia sekitar 30 tahun, tingginya satu meter, sudah berjalan tegak, dan diperkirakan meninggal 18.000 tahun lampau. Liang Bua menyimpan misteri besar untuk menguakkan ironi proses evolutif dari manusia tegak ke manusia modern/berpikir di Indonesia.
Tim gabungan itu mengadakan serangkaian ekskavasi di Liang Bua pada September 2003. Setahun kemudian diumumkan, dan langsung menghebohkan sebab mereka menemukan fosil manusia kecil dari Liang Bua. Fosil itu berjenis kelamin perempuan dan berusia sekitar 30 tahun, tingginya satu meter, sudah berjalan tegak, dan diperkirakan meninggal 18.000 tahun lampau. Liang Bua menyimpan misteri besar untuk menguakkan ironi proses evolutif dari manusia tegak ke manusia modern/berpikir di Indonesia.
Pak Jono
oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pernah diusulkan sebagai Bapak Prasejarah
Indonesia. "Mereka yang usulkan saya tidak minta," katanya merendah.
Sementara sampai saat ini, Soejono punya obsesi, bangsa Indonesia mengembangkan
pengetahuan seluas mungkin tentang masa lalunya sebagai kesatuan integral masa
kini.
Keprihatinan
arkeologis. Karena keprihatinan itu, walau sudah pensiun sebagai PNS sejak
1981, sehari-hari masih berada di salah ruang ruangan Kantor Puslit Arkenas,
Pejaten, pukul 10.00-15.00. Dia tenggelam dalam setumpuk buku, dikitari
tanda-tanda penghargaan, deretan disertasi yang pernah dibimbingnya, dan terus
menjadi "tempat bertanya". Sehari-hari berangkat pulang dari rumah
Cipete ke kantor menyopir sendiri, belakangan ini Soejono merasa keki.
"Banyak nyamuk sepeda motor yang suka zig-zag tak keruan." TI, st
sularto, (Kompas, 20 Oktober 2007
***
RADEN PANDJI SOEJONO
Ketika masih
mahasiswa, ia pernah ''magang'' pada Van Heekeren, arkeolog ternama Belanda.
''Kami sering melakukan ekspedisi ke daerah terpencil, dengan peralatan
sederhana. Jas hujan saja susah,'' katanya. Begitu Van Heekeren dan arkeolog
Belanda lainnya kembali, Soejono mulai merintis lembaga kepurbakalaan
Indonesia. Antara lain bersama Uka Tjandrasasmita, Nyonya Sulaeman, dan
Soekmono. Anak keenam dari tujuh bersaudara ini, putra Raden Pandji Soeroso,
perintis kemerdekaan itu. Pada mulanya, Soejono mengambil jurusan sejarah, lalu
pindah ke arkeologi. ''Jurusan ini ternyata lebih sesuai untuk saya,'' katanya.
Tentang
arkeologi, ia mengutip cendekiawan Denmark, Worsaae. Bangsa yang menghargai
dirinya sendiri dan kemerdekaannya tidak mungkin puas dengan hanya memandang
kepada masa kininya. Ia harus memberikan perhatian kepada masa-masa lampaunya.
Mungkin
lantaran itu, Soejono baru merasa puas bila berhasil menemukan sesuatu dalam
penggaliannya. Temuan itu akan menjadi bahan penelitian untuk mengetahui apa
yang telah terjadi dengan masa lampau. Penelitian itu begitu penting baginya.
''Oleh sebab itu, saya sering kali kecewa bila mendengar komentar yang
mengatakan bahwa arkeolog hanya mengejar benda kuno saja, seperti halnya
pencari beling,'' keluhnya.
Namun, ia
kini mulai puas karena bidang arkeologi sudah banyak diketahui orang. ''Sudah
banyak koran yang memuat berita arkeologi. Setidaknya hal itu membuat bidang
arkeologi tidak lagi terasa asing. Itulah yang saya harapkan,'' ujarnya.
Menurut Soejono, penelitian kepurbakalaan Indonesia kini sudah sampai pada
taraf kristalisasi.
Selain
menjadi dosen luar biasa pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia, ia juga
menjabat berbagai jabatan yang semuanya berhubungan dengan bidang arkeologi.
Antara lain sebagai Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Ia dijuluki
''barang langka'' dalam dunia prasejarah di Indonesia.
Lelaki
dengan tiga anak ini dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar luar biasa
pada FS UI, Agustus 1984, menjelaskan bahwa arkeologi mempunyai peranan dalam
usaha menggugah rasa kebangsaan. Khusus kepada keluarganya, ia berkata:
''Kepada istriku, Vasca, dan anak-anakku, Uki, Hita, Arsa. Mengejar materi
arkeologi adalah berbeda dengan mengejar materi duniawi. Terima kasih atas
pengertianmu sekalian selama ini di kala saya berlanglang buana dan mengembara
di pelosok tanah air.''
Ia
menyadari, tugasnya telah menyita waktu untuk keluarga. Sebelum menikah dengan
Hanggarina Ambaroekmi Vascayati, 1958, ia sudah mulai melakukan survei,
ekskavasi, rekonstruksi, dan preservasi kepurbakalaan periode prasejarah,
meliputi paleolitik, epi-paleolitik, neolitik, dan peleometalik sejak 1953.
Untuk semua itu, ia sudah menyuruki banyak gua dan pelosok Nusantara --
sedikitnya dalam 30 tahun perjalanan kariernya.
Ia meraih
doktor dari UI, dengan disertasi berjudul Sistem- sistem Penguburan pada Akhir Masa
Prasejarah di Bali. Lebih dari 60 artikel, kertas kerja, dan prasaran telah
ditulisnya.
Tentang
adanya pencurian benda-benda purbakala, Soejono berpendapat, ''Yang salah
adalah lingkungan di luar kita semua, yang seakan-akan menciptakan peluang
terjadinya pencurian benda kuno,'' katanya kepada Sinar Harapan. Namun, ia juga
mengakui bahwa hal itu tidak saja terjadi di Indonesia. ''Di luar negeri malah
nekat. Pencuri merampok dan memboyong benda purbakala dengan truk dan cara yang
canggih,'' tuturnya.
Ketua Ikatan
Ahli Arkeologi Indonesia ini sangat gembira melihat perhatian terhadap ilmu
arkeologi dari kaum muda sekarang. Soejono, yang pernah ditawan Belanda ketika
bergerilya (1947), ingin menggembleng mereka menjadi spesialis arkeologi yang
bermutu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar