JENDERAL BESAR SOEDIRMAN
Pengabdian : Kekaisaran
Jepang (1944–1945), Indonesia
(1945–1950)
Lama dinas : 1945–1950
Pangkat : Jenderal Besar
Anumerta Bintang Lima (1997)
Kesatuan : TKR/TNI, Divisi
V / Banyumas, Batalyon Kroya
Komando : Panglima Besar
TKR / TNI (pangkat Jenderal)
Panglima Divisi
V / Banyumas (pangkat Kolonel)
Komandan
Batalyon Kroya, Jawa Tengah
Perang Palagan
Ambarawa
Serangan Umum 1
Maret 1949
Perang
Kemerdekaan Indonesia
Penghargaan Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Jenderal Besar
TNI Anumerta Raden Soedirman (Ejaan Soewandi: Soedirman) (lahir di Bodas
Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang,
Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun). Ia adalah
seorang perwira tinggi militer Indonesia dan panglima besar pertama Tentara
Nasional Indonesia yang berjuang selama masa revolusi kemerdekaan.
Soedirman dilahirkan di Purbalingga, Hindia Belanda oleh pasangan
wong cilik, lalu diangkat oleh pamannya, yang merupakan seorang priyayi.
Setelah dibawa pindah bersama keluarganya ke Cilacap pada akhir tahun 1916,
Soedirman tumbuh menjadi siswa yang rajin. Ia
juga sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk organisasi pramuka
bentukan organisasi Islam Muhammadiyah. Saat masih di sekolah menengah, Soedirman
telah menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin, ia juga dihormati dalam
masyarakat karena taat pada agama Islam. Setelah keluar dari sekolah guru, ia
menjadi guru di sebuah sekolah rakyat milik Muhammadiyah pada tahun 1936.
Soedirman akhirnya diangkat sebagai kepala sekolah itu. Soedirman juga aktif
dengan berbagai program Muhammadiyah lain, termasuk menjadi salah satu pemimpin
organisasi Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937.
Setelah pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Soedirman
terus mengajar. Pada tahun 1944 ia bergabung dengan angkatan Pembela Tanah Air
(PETA) yang disponsori Jepang sebagai pemimpin batalyon di Banyumas. Saat
menjadi perwira PETA, Soedirman berhasil menghentikan sebuah pemberontakan yang
dipimpin anggota PETA lain, tetapi akhirnya ditahan di Bogor. Setelah
proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman dan
tahanan lain melarikan diri. Soedirman kemudian pergi ke Jakarta dan bertemu
dengan Presiden Soekarno. Di Jakarta, Soedirman ditugaskan untuk mengurus
penyerahan prajurit Jepang di Banyumas, yang ia lakukan setelah mendirikan
salah satu cabang Badan Keamanan Rakyat (TKR). Dengan merampas senjata dari
Jepang, pasukan yang dipimpin Soedirman dijadikan bagian dari Divisi V 20
Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo.
Soedirman dijadikan panglima dari divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih dalam suatu
pemilihan Panglima Besar TKR yang diadakan di Yogyakarta. Saat menunggu
konfirmasi, Soedirman memimpin suatu serangan terhadap pasukan Sekutu di
Ambarawa. Keterlibatannya dalam Palagan Ambarawa membuat Soedirman mulai
dikenal di masyarakat luas. Ia akhirnya dikonfirmasikan sebagai panglima besar
pada tanggal 18 Desember. Dalam tiga tahun berikutnya Soedirman menyaksikan ketidakberhasilan
negosiasi dengan pasukan kolonial Belanda, pertama setelah Persetujuan
Linggajati lalu setelah Persetujuan Renville yang mengakibatkan Indonesia harus
menyerahkan wilayah yang diambil oleh Belanda pada Agresi Militer I. Ia juga
menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk suatu percobaan kudeta pada tahun
1948. Menjelang kematiannya, Soedirman menyalahkan hal-hal ini sebagai penyebab
penyakit tuberculosisnya. Karena infeksi
tersebut, paru-parunya yang kanan dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman
pulang dari rumah sakit, pemerintah Belanda meluncurkan Agresi Militer II,
suatu usaha untuk menduduki ibu kota di Yogyakarta. Meskipun banyak pejabat
politik mengungsi ke kraton, Soedirman bersama sejumlah pasukan dan dokter
pribadinya menuju ke arah selatan dan melakukan perlawanan gerilya sepanjang
tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti pasukan Belanda, tetapi akhirnya mereka
berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung Lawu. Di
Sobo ia dan pasukannya menyiapkan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang akhirnya
dipimpin Letnan Kolonel Suharto. Setelah Belanda mulai mengundurkan diri, pada
bulan Juli 1949, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta. Meskipun ia hendak
mengejar pasukan Belanda, ia dilarang oleh Soekarno. Karena kelelahan setelah
berbulan-bulan bergerilya, tuberculosis Soedirman tumbuh lagi,
akibatnya ia pergi ke Magelang untuk beristirahat. Ia meninggal kurang lebih
satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sekarang Soedirman
dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Yogyakarta.
Rakyat Indonesia berduka cita setelah kematian Soedirman. Bendera
dikibarkan setengah tiang di seluruh Nusantara dan ribuan orang mengikuti
pemakamannya. Sampai sekarang Soedirman sangat disegani di Indonesia. Perang
gerilyanya dianggap sebagai asal usul semangat Tentara Nasional Indonesia,
termasuk perjalannya yang sepanjang 100 kilometer harus ditempuh oleh kadet
Indonesia sebelum mereka lulus dari Akademi Militer. Gambar Soedirman
ditampilkan pada uang kertas Rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan di
banyak jalan, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964 ia dinyatakan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sikap yang dapat dicontoh dari Jenderl
Soedirman adalah sebagai berikut:
·
Kepemimpinannya yang bijaksana sehingga disegani oleh semua orang,
·
Taat pada ajaran agama khususnya agama Islam,
·
Mempunyai taktik/ strategi perang yang baik,
·
Patuh terhadap perintah yang ditugaskan kepadanya,
·
Semangat juang dan rasa cinta tanah air yang tinggi, yaitu terbukti saat
Beliau sakit, tetapi masih berusaha untuk membela tanah air.
Nama :
Ida Febiyanti
Kelas :
X-1
Nomor Absen :
15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar